Senin, 12 April 2010

Ketidaksamaan Hukum di Indonesia

Setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum (equality before the law), kalimat indah ini bukanlah sekedar puisi yang diciptakan oleh ahli hukum guna menyenangkan hati orang yang membacanya. Frasa ini telah menjadi salah satu asas hukum terpenting dari sekian banyak asas hukum universal yang berlaku, dikukuhkan di dalam konstitusi, UUD maupun di pelbagai peraturan perundang-undangan.

Lantas benarkah setiap orang itu sama kedudukannya di depan hukum? Bagi mereka yang berpaham positivisme hukum (normatif) sebagaimana pencetusnya Hans Kelsen dan John Austin, asas ini dianggap benar adanya, karena di pikiran mereka hukum itu tidak lain adalah apa yang menurut undang-undang, bukan apa yang seharusnya. Atas dasar itu, hukum harus pula dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis (penilaian baik dan buruk), politis (subjektif dan tidak bebas nilai), sosiologis (terlepas dari kenyataan sosial). Hukum yang

positif harus mengandung perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sedangkan ketentuan di luar unsur tersebut bukanlah positive law namun dikategorikan sebagai positive morality”. Adapun kesenjangan antara nilai dengan fakta bukanlah persoalan hukum, karena itu semata-mata karena persoalan perilaku manusianya (aparatur hukumnya) bukan persoalan normanya.

Tentu saja pandangan dan argumen positivisme hukum di atas ditolak oleh para ilmuan sosiologi hukum yang mempelajari hukum sebagai suatu gejala sosial. Ilmu sosiologi hukum sendiri pada mulanya ditentang oleh para ahli hukum, karena ia mengamati persoalan-persoalan hukum yang dianggap “tabu” untuk disoroti, seperti: hubungan hukum dan sistem sosial masyarakat; sifat hukum yang dualistis; hubungan hukum dan kekuasaan; kepastian hukum dan keadilan dan lain sebagainya, namun kini sosiologi hukum diminati untuk dipelajari oleh banyak sarjana hukum.

Adalah seorang sosiolog asal Belanda Schyuuty adalah salah seorang yang pernah “mencemooh” asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Baginya asas equality before the law dianggap utopis, sekedar mimpi dari para ahli hukum belaka. Mustahil terjadi persamaan di hadapan hukum pada saat kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu lebar!

Tidak saja sampai di situ, para sosiolog hukum juga mengamati sejauhmana pengaruh stratifikasi sosial (status sosial tertentu) terhadap perilaku aparat penegak hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Untuk menguji teori sebagaimana yang telah diungkap oleh para sosiolog, mari kita amati fakta ketidaksamaan kedudukan di hadapan hukum itu.

Contoh yang paling sederhana, adalah perlakuan bagi tersangka kasus tindak pidana pencurian? Biasanya dengan keadaan muka lebam bekas disiksa, bahkan dalam keadaan setengah telanjang, ia terpaksa berjalan tertatih-tatih menuju ruang tahanan sambil merintih kesakitan akibat peluru yang bersarang di kakinya. Kepadanya pemeriksaan dapat dilakukan kapan saja, tidak peduli pada saat sakit maupun pada jam istirahat sekalipun. Jangankan untuk memperoleh hak penangguhan penahanan, terkadang ia tetap ditahan meskipun masa waktu penahanan telah berakhir.

Asas praduga tidak bersalah seolah tidak berlaku baginya karena ia hanya seorang sampah masyarakat, miskin, dan buta hukum. Bahkan terkadang penasihat hukum pun tidak tertarik jika diminta untuk mendampinginya. Pandangan masyarakat terhadap mereka pun sangat buruk. Masyarakat tidak pernah peduli, mengapa mencuri? Meskipun terkadang itu terpaksa ia lakukan demi membayar biaya berobat istrinya yang sedang melahirkan atau hanya untuk membayar biaya sekolah anaknya—yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga seakan tidak mau peduli seberapa banyak harta yang telah ia curi (seekor ayam atau sebuah sepeda motor). Jika tertangkap tangan, risiko yang mereka terima sama, sekurang-kurangnya dipukuli hingga babak belur, bahkan terkadang dibakar hidup-hidup.

Coba bandingkan bagaimana perlakuan terhadap tersangka kasus korupsi. Baginya berlaku ketentuan sebelum diperiksa, penyidik diharuskan terlebih dahulu memperoleh “izin” dari atasan pelaku—bukan sekedar pemberitahuan saja. Kalaupun diperiksa, ia diperlakukan dengan sepatutnya. Hak-haknya sebagai tersangka seperti hak penangguhan penahanan; hak dikunjungi keluarga; hak untuk berobat ke rumah sakit jika ia sakit; hak memberikan keterangan secara bebas (tanpa disiksa) dapat terjamin, karena ia mampu menyewa jasa pengacara yang terkenal. Bahkan sesat keluar dari ruang pemeriksaan, sambil tersenyum ia bersama penasihat hukumnya memberikan keterangan pers guna mempengaruhi opini publik. Pandangan masyarakat terhadap mereka pun sangat berbeda dengan pelaku tindak pidana pencurian. Meskipun koruptor telah mengkorupsi uang negara hingga triliunan rupiah, namun mereka tetap terhormat, tidak pernah dikucilkan karena ia bukanlah “sampah masyarakat”.

Bagaimana pula halnya dengan akses pelayanan hukum? Apakah setiap orang juga memperoleh akses pelayanan hukum yang sama? Pernah penulis dan beberapa teman sejawat yang tergabung dalam Gerakan Perubahan Kampus (GPK) Unimal, dipanggil oleh pihak kepolisian guna dimintai keterangan atas pernyataan yang pernah kami lontarkan di salah satu media massa lokal perihal perilaku koruptif pimpinan Unimal. Pada saat itu, berdasarkan alat bukti dokumen maupun keterangan saksi, pihak kepolisian menyampaikan bahwa, “meski sudah terdapat indikasi korupsi, namun semua itu belum cukup dijadikan bukti permulaan guna menetapkan pelaku sebagai tersangka”. Intinya kami diminta untuk memberikan bukti tambahan lainnya. Kami sempat terhenyak dengan permintaan pihak kepolisian. Mengapa pembuktian harus dibebankan kepada kami? Mengapa melaporkan tindak pidana korupsi harus dengan bukti yang sangat lengkap? Bukankah menjadi tugas dan kewenangan polisi guna mencari alat bukti yang lebih rinci?

Fakta Pembedaan perlakuan di hadapan hukum seperti contoh di atas membuktikan teori para sosiolog bahwa terdapat faktor-faktor lain di luar hukum, yang ikut mempengaruhi perilaku aparatur penegak hukum, seperti kekuasaan, kekayaan, jabatan, relasi (hubungan keluarga), derajat pendidikan, ketokohan dll, membuat seseorang diperlakukan tidak sama, bahkan disediakan pula peluang (opportunity) tertentu baik oleh peraturan perundang-undangan maupun oleh kebijakan tertentu (diskresi). Dan tentu saja peluang dan perlakuan “istimewa” yang diperoleh itu tidak mungkin bisa diperoleh secara gratis. Ada “kompensasi” yang ditawarkan kepada aparat penegak hukum (biasanya berupa uang, tawaran jabatan, pangkat dll).

Begitulah Potret penegakan hukum di negeri yang kita cintai. Hukum sebagai norma (das sollen) dengan hukum sebagai kenyataan (das sein) tampak begitu kontras. Hukum yang seharusnya berlaku untuk semua orang justru ia bisa tidak berlaku bagi orang tertentu. Hukum yang seharusnya memberikan keadilan, justru ia menciptakan ketidakadilan. Hukum yang seharusnya memberi kepastian dan ketertiban, justru yang terjadi adalah ketidak-pastian dan ketidak-tertiban itu sendiri. Bahkan hukum yang seharusnya membawa kemaslahatan (manfaat) bagi setiap orang, justru ia hanya bermanfaat bagi segelintir orang saja. Lantas apa yang salah dengan hukum sistem hukum kita?

Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni menyangkut isi dari norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum (legal structure), yakni menyangkut sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur hukumnya; dan Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku budaya sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure. Itulah sebabnya tidak berlebihan bila Traverne mengatakan: “Berilah aku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun akan dihasilkan putusan yang baik”.

Masih teringat pada saat penulis sedang menyelesaikan studi Ilmu Hukum, baik di program sarjana (1993) di Jogja maupun magister hukum (2003) di Bandung. Pada saat itu, teori positivisme hukum merupakan teori hukum yang paling populer diajarkan oleh mayoritas dosen Fakultas Hukum. Di setiap perkuliahan, para dosen sangat getol menyampaikan keunggulan aliran positivis hukum. Sedikit dari para dosen pada waktu itu yang memperkenalkan teori-teori hukum lain di luar teori positivisme hukum. Intinya, kurikulum ilmu hukum pada saat itu—mungkin juga sebagian kurikulum ilmu hukum saat ini, masih berorientasi mahasiswa untuk memahami undang-undang, bukan memahami hukum. Sarjana hukum an sich dipersiapkan untuk menembus permintaan pasar kerja, menjadi para “tukang hukum” profesional yang selalu diajak berpikir rasional , bebas nilai dan hampa dari rasa keadilan dan rasa kemanusiaan.

Pandangan positivisme hukum sebagaimana di atas juga dikritik dan dibantah oleh para penganut hukum responsif–sintesis dari berbagai aliran hukum, terutama aliran hukum alam, mazhab sejarah hukum, aliran sociological Jurisprudence, Legal Realisme, maupun Critical Legal Studies movement. Hukum responsif menganggap positivisme hukum itu sekedar menempatkan hukum di sebuah ruang hampa, menjadi “aturan mati “ sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab hukum. Positivisme hukum telah menjadikan hukum itu sesuatu yang a sosial, padahal hukum itu diciptakan untuk manusia demi tujuan sosial tertentu.

Berbeda dengan positivisme hukum yang hanya mampu mencapai prosedural justice, hukum progresif lebih pada tujuan terpenuhinya substansial justice. Disinilah letak keunggulan konsep dan gerakan hukum progresif yang selalu mengawal moral justice, karena konsep hukum progresif lebih berperspektif pada keadilan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan yang bersifat transedental.

Berbeda dengan positivisme hukum yang tidak dinamis, mandeg, sehingga tidak mampu mengejar perubahan sosial, justru gerakan realisme hukum sebagaimana dianut oleh John Chipman Gray, Oliver Wender Holmes, William James dan lainnya, selalu ingin berpikir pada hukum yang dinamis, berubah-ubah mengikuti tujuan dan perubahan sosial. Hukum bukan saja sebuah logika, namun lebih sebagai pengalaman dan keahlian dari para legislator (para pembuat UU) maupun para juris dalam menemukan hukum (judge made law).

Kelanjutan dari gerakan dari realisme hukum ini diteruskan dan dilengkapi pula oleh gerakan Studi Hukum Kritis (critical legal studies movement) oleh Roberto Maingara Unger yang menempatkan hukum sebagai sesuatu yang tidak pernah adil, tidak pula objektif dan tidak pula bebas nilai. Hukum itu pada dasarnya selalu berpihak (berperspektif) pada kekuasaan. Karena hukum itu selalu berpihak pada kekuasaan, maka diperlukan keberpihakan hukum (perspektif hukum) tertentu untuk mengimbangi dan melawan hegemoni kekuasaan dan penindasan yang dilakukan oleh: kaya – miskin; kuat – lemah; mayoritas – minoritas; pemilik modal – pekerja dan lain sebagainya. Munculnya kajian-kajian hukum seperti hukum berperspektif HAM, hukum berperspektif buruh, hukum berperspektif perempuan, hukum berperspektif anak, dan lain sebagainya, merupakan ciri dari critical legal studies movement.

Di abad 21 ini, masih banyak sarjana hukum yang belum terbangun dari mimpi dan mitos aliran positivisme itu. Semangat reformasi hukum di Indonesia ternyata belum juga diikuti oleh perubahan paradigma dan perilaku mayoritas dari para sarjana hukum dan aparat penegak hukum, khususnya para hakim kita—kecuali para hakim Mahkamah Konstitusi yang menurut penulis berani keluar dari pakem positivisme. Ajaran legisme, yakni suatu ajaran agar hakim selalu memutuskan perkara berdasarkan UU belaka masih tetap dipegang teguh oleh mayoritas hakim di Indonesia . Padahal telah disadari bahwa peraturan perundang-undangan itu bukanlah sekedar produk hukum, namun ia juga sekaligus produk politik yang sarat akan nilai dan kepentingan tertentu. Legisme telah membuat hakim menjadi tidak berdaya menghadapi perintah UU. Ajaran legisme membuat putusan hakim menjadi kering dan miskin akan pertimbangan-pertimbangan hukum, tidak peka pada keadilan masyarakat.

Pada akhirnya harus pula kita sadari, bahwa mayoritas dari para legislator, polisi, jaksa, hakim, pengacara yang selama ini kita cemooh, kita caci-maki karena mereka dianggap tidak patut (adil) menegakan hukum, tidak bermoral, serta berperilaku koruptif. Mayoritas dari mereka adalah para sarjana hukum hasil produksi dari fakultas-fakultas hukum di Indonesia yang mayoritas dididik oleh para dosen hukum yang berpaham positivisme hukum itu. Dan meskipun norma hukum itu tidak akan mungkin dengan sendirinya menciptakan persamaan dan keadilan hukum, namun setiap orang akan terus berharap agar suatu saat cita-cita hukum itu terwujud seperti apa yang diimpikan oleh para ahli hukum itu. Karena sudah menjadi tugas dari para ahli hukum untuk terus memberikan harapan melalui mimpi indah, dan sekaligus mengawalnya.

Negara Hukum&HAM

Negara Hukum menurut UUD 1945 adalah berdasarkan pada kedaulatan hukum. Hukumlah yang berdaulat. Negara adalah merupakan subjek hukum, badan hukum republik. Karena negara itu dipandang sebagai subjek hukum, maka jika ia bersalah dapat dituntut didepan pengadilan karena perbuatan melanggar hukum.HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya